Hanya
ada dua posisi seseorang dalam sebuah organisasi, yakni dipimpin dan
memimpin. Baik organisasi berskala mikro (contohnya Yayasan, LSM,
Industri Kecil dan Menengah, dan organisasi kampus) maupun organisasi
berskala makro (contohnya perusahaan-perusahaan besar misalnya Astra,
IBM, Wall-mart), tidak bisa terlepas begitu saja dengan pola sistematik
yang ada di organisasi. Begitu juga halnya dalam Islam. Seorang ulama
adalah pemimpin muslim lainnya dalam koridor Islam sebagai
organisasinya. Organisasi adalah sebuah sistem yang berfungsi sebagai
wadah interaksi antar manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang
pemimpin merupakan tonggak ujung yang akan mengarahkan agar tujuan
organisasi tercapai. Pemimpin mempunyai power yang tidak dimiliki oleh orang yang dipimpin. Power tidak dapat tumbuh begitu saja. Power merupakan
kekuatan untuk mengelola dan mengatur organisasi. Beberapa ahli
berpendapat bahwa kemampuan seseorang dalam memimpin adalah sebuah
kemampuan alami secara genetik, yang tidak bisa diajarkan. Akan tetapi
tidak semua orang berpandangan sama. Kemampuan seseorang untuk menjadi
pemimpin dapat dipelajari baik di lingkungan pendidikan maupun terjun
langsung di lapangan.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemimpin memegang peranan penting dalam sebuah
organisasi. Sebagai contoh, dalam kasus pemilu negara kita tahun 2009,
banyak partai baru bermunculan. Image orang terhadap partai
baru, salah satunya tercermin dari siapa pemimpinnya. Orang awam akan
langsung bertanya, ”Siapa sih pemimpin partainya?”. Karena dari
situlah dapat ditebak seperti apa gambaran organisasi tersebut. Segala
atribut yang menempel di pemimpin, seperti umur, jabatan dan bahkan suku
bangsa dapat digeneralisir menjadi atribut organisasi yang dipimpinnya.
Terlepas dari semua hal itu, sebenarnya ada hal yang lebih pokok dari
atribut-atribut tersebut. Karena pada hakekatnya, secara tidak langsung
seorang pemimpin organisasi akan membawa visi pribadinya menjadi bagian
dari visi organisasi. Alangkah naifnya jika ternyata seorang pemimpin
baru yang ditunjuk, mempunyai visi pribadi yang kurang sinergi dengan
visi organisasi dan secara perlahan-lahan mengotori visi organisasi. Hal
ini bukan hal yang baru di dalam sebuah organisasi. Sudah banyak
contohnya di kehidupan politik bangsa ini. Konflik internal di beberapa
partai politik merupakan dampak dari permasalahan itu. Kepemimpinan
dalam sebuah organisasi sangat erat kaitannya dengan visi organisasi.
Seorang pemimpin akan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk
mencapai visi organisasi. Akan tetapi ada hal lain yang bisa digunakan
dalam menjalankan kepemimpinan, yakni pengalaman. Pemimpin besar bagi
umat muslim yang patut dijadikan panutan dalam semua aspek kehidupan
adalah Baginda Rasulullah SAW.
Proses seseorang dalam menjalankan kepemimpinanya di organisasi tidak
akan berjalan dengan linier. Rumus matematik saja sejatinya belum cukup
untuk memodelkan pola kepemimpinan dan daur hidup organisasi. Banyak
permasalahan-permasalahan internal yang oleh sebagian besar organisasi
tidak dapat diungkapkan sebagai permasalahan organisasi. Beberapa
ahli organisasi dan konsultan menyebutnya sebagai organisasi yang
sakit. Keengganan pemimpin untuk mengakui dan mengungkap permasalahan
internal organisasi bisa menjadi efek bola salju. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa semua organisasi mempunyai permasalahan internal. Dan
proses penyelesaiaan secara benar bukan satu-satunya indikator berhasil
tidaknya organisasi dalam mencapai visi dan tujuannya. Yang lebih utama
adalah hasil atau output. Indikator tersebut merupakan
indikator yang paling valid dari indikator-indikator lain untuk mengukur
tercapainya visi dan tujuan organisasi. Misalnya ketika terjadi
permasalahan internal di sebuah lembaga pendidikan. Solusi-solusi akan
datang silih berganti dan tumpang-tindih untuk mencoba menengahi dan
menyelesaikannya. Namun, yang perlu diperhatikan justru sejauh mana
hasil atau output lembaga pendidikan tersebut dalam hal
kualitas. Karena bisa saja yang terjadi dengan adanya permasalahan
internal atau konflik itu, dapat menjadikan pelajaran yang berharga bagi
pengelola lembaga pendidikan dan memicu produktivitas. Hal ini sesuai
dengan penjelasan di atas bahwa siklus organisasi sejatinya tidak ada
yang linier, akan tetapi penuh dengan kondisi probabilistik.
Konflik organisasi secara umum ada dua macam. Pertama
konflik eksternal, yakni bekaitan dengan hubungan organisasi dan
lingkunganya. Kedua adalah konflik internal, yakni
permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam organisasi. Beberapa
ahli organisasi berpendapat bahwa konflik internal meliputi konflik yang
terjadi di dalam diri individu, konflik antar individu yang dipimpin,
konflik antara individu yang dipimpin dan organisasi, konflik antara
pemimpin dan yang dipimpin, serta konflik antara pemimpin dengan
organisasi (Winardi, 2007). Porsi terbesar yang dapat memicu potensi
rapuhnya organisasi adalah konflik yang melibatkan pimpinan di dalamnya.
Ini adalah sesuatu yang lumrah mengingat pemimpin adalah tonggak ujung
organisasi. Pemimpin yang mempunyai tanggung jawab menjaga keluwesan
organisasi dalam menghadapi konflik. Pandangan ahli organisasi pada
zaman dulu menganggap bahwa konflik adalah ancaman yang mengandung
resiko. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan,
manajemen konflik menjadi wacana baru. Salah satu contoh riil berkaitan
dengan konflik internal adalah konflik antar golongan yang menimpa umat
muslim akhir-akhir ini. Terlepas dari semua perbedaan pendapat dan
perdebatan dalam menghadapi masalah itu, seolah-olah justru visi islam
yang diturunkan Allah SWT sebagai Rahmatallil’alamin terbiaskan.
Sehingga alangkah baiknya jika merujuk kembali ke Al Qur’an surat Asy
Syura ayat 38 yang menyebutkan bahwa permasalahan antar manusia
diselesaikan dengan permusyawaratan. Meski tidak semua hal dapat
diselesaikan dengan cara musyarwarah. Allah SWT juga berfirman untuk
mendamaikan semua pihak yang bertikai jika terjadi konflik (Al Hujurat
ayat 9). Langkah serupa juga selayaknya diterapkan di semua organisasi
agar jalan tengah konflik dapat dicapai.
Konflik
merupakan dampak dari kepentingan, baik kepentingan individu yang
dipimpin maupun pemimpin. Disadari atau tidak, ketika bergabung dalam
sebuah organisasi, setiap individu mempunyai kepentingan tertentu yang
ingin dicapai pada saat bergabung dengan organisasi. Disamping bahwa ada
kepentingan organisasi, yakni visi, yang harus sejalan dan selaras
dengan pemikiran individu yang bergabung dengan organisasi. Kepentingan
merupakan salah satu faktor dominan yang menjadi akar pemicu konflik.
Misalnya dalam sebuah organisasi kampus, setiap individu yang bergabung
mempunyai angan-angan tertentu yang ingin diraihnya. Dan ketika
angan-angan dan harapan tersebut perlahan-lahan hilang, maka individu
yang bersangkutan akan surut semangatnya di organisasi itu. Konflik juga
bersinggungan dengan peran. Peran yang dijalani setiap individu (baik
pemimpin maupun yang dipimpin) bisa saja bertentangan dengan keinginan
pribadi yang bersangkutan.
Seperti
halnya manusia hidup di dunia juga mempunyai kepentingan. Setiap muslim
wajib mencari kebahagian di dunia maupun di akhirat. Seorang muslim
yang hanya mengejar dunia, maka belum tentu kehidupan akhirat akan
bahagia. Namun, jika mengejar akhirat sebagai tujuan akhir, maka insya
Allah, kehidupan dunia akan tercukupi. Jika dianalogikan dalam kehidupan
berorganisasi, kepentingan individu di dalam organisasi diumpamakan
sebagai kepentingan mengejar kehidupan dunia. Sedangkan kepentingan
memperoleh kehidupan akhirat yang baik, diibaratkan seperti pencapaian
visi organisasi. Apabila kepentingan untuk meraih pencapaian visi
organisasi diutamakan dan tetap dijunjung tinggi, maka kepentingan
individu juga akan ikut terlaksana. Manusia sebagai entitas individu
memang tidak bisa lepas dari atribut-atribut yang menempel di setiap
individu. Manusia mempunyai cipta, rasa dan karsa dalam menjalankan
berbagai aktivitas apapun. Demikian juga ketika manusia berinteraksi
dalam sebuah organisasi. Kepentingan-kepentingan individu tidak bisa
dipungkiri akan terbawa pada saat setiap individu berinteraksi. Emosi
dan hati manusia ketika berinteraksi dalam sebuah organisasi akan selalu
menghiasi. Namun perlu disadari juga bahwa hati manusia mudah berubah,
sebagaimana Allah yang membolak-balikkan hati manusia. Sehingga alangkah
indahnya jika setiap individu bisa menata hatinya dengan memanaje
qalbunya, sebagaimana Aa’Gym sering mengulas dalam setiap wejangannya.
Karena pada hakekatnya interaksi manusia dalam organisasi tidak akan
pernah bisa lepas dari hakekat manusia yang mempunyai emosi dan hati.
0 comments:
Post a Comment